SD Tabaringan, Sekolah di Tengah ‘Kantin’

Banyak cara melihat bagian-bagian di Kota Makassar. Salah satunya seperti yang dilakukan seorang pemuda yang berangkat ke bekas sekolahnya, SD Tabaringan. Ia mengunjungi sekolah itu lagi dan bertemu dengan para guru kelasnya dulu, seraya mengenang beberapa  titik di sekolah itu untuk mengingat kembali kenakalan-kenakalan kecil di masa-masa bersekolah.

Untuk para pembaca, situs ini menerima tulisan-tulisan Anda dengan sudut pandang seperti tulisan di bawah ini. Sekolah mana saja? Terserah! Anda tinggal pilih: TK, SD, SMP, atau SMA. Setidaknya, dengan cara begini, kita bisa mengingat dan mempelajari kembali perkembangan yang ada di sekitar kita. Ayo belajar bersama dan selamat membaca!

Sebelum dia memotret bekas sekolah yang sudah ditinggalkannya puluhan tahun lalu, saya akan memutar ulang kisah seorang pemuda ketika masih menjadi murid di satu sekolah dasar di Jalan Yos Sudarso. Di sekolah itu ia menjadi ketua kelas dan siswa yang selalu mendapat rangking.

Namanya Sofyan Syamsul. Panggilan akrabnya Pepeng. Usianya 25 tahun. Dia bertubuh kurus, suka menggaruk kepala kalau sedang bercerita. Orangnya ramah, senang tertawa terbahak, dan seorang penderita insomnia. Saya menemaninya mengunjungi bekas sekolahnya di tengah Pasar Cidu Makassar, pada Senin, 25 Februari 2012. Nama sekolahnya: Sekolah Dasar Tabaringan.

Kami berangkat dari Panti (julukan rumah yang saat ini menjadi tempat berkumpulnya bersama kawan-kawannya). Tergesa-gesa ia mandi karena bangun telat, kemudian melewati gang kecil, dan menerobos padatnya orang-orang yang berbelanja di pasar. Saya beberapa kali tertinggal jauh dari Pepeng. Dia begitu lihai menyelinap, berjalan memiringkan badan, tanpa harus berucap kata permisi untuk orang-orang yang akan diterobosnya. Padahal dia membawa tas berat selempang yang digantungnya di pundak.

Bagaimana cara Pepeng melakukannya? Menurut dia, hal itu tak perlu dipikirkan, sebab sudah jadi kebiasaan. “Sejak SD mi toh, saya lewat jalan ini, hahaha!” katanya.

Saat saya terhenti, menunggu ruang kecil untuk menyelinap dan melangkahkan kaki, orang-orang bergerak seperti tak hentinya, menabrak pundak bahkan menyenggol pantat. Tapi, perjalanan melewati jalan-jalan pasar, yang kiri dan kanannya dijejali penjual itu, mengingatkan suasana tahun 1990-an awal ketika menemani Nenek menjual kaporit di pasar kampung saya di Palopo, Kabupaten Luwu, 350 km dari Makassar.

Tapi pasar di kampung saya dan pasar Cidu ini agak berbeda. Di sini, saya tak menemukan penjual menjajakan dagangannya dengan duduk bersila, menggunakan terpal sederhana yang dijadikan alas duduk—melainkan memiliki meja kecil dan tempat duduk dari kursi kayu.

Sekira 10 menit berjalan kaki, tibalah kami di depan pintu gerbang Sekolah Dasar Tabaringan. Saya berhenti sejenak. Gerbang pagarnya berwarna hijau, tembok pagar sudah tak kelihatan karena dijadikan stan lapak para pedagang. Ada plang kecil dari papan kayu yang digantung di bawah atap seng sekolah.

Saat kami masuk, suasana begitu riuh. Ada anak laki-laki yang bermain bola basket, berlarian dan berkeringat. Tim basket itu dipandu oleh seorang guru olahraga. Namun jangan beranggapan lapangan basket itu seperti lapangan pada umumnya yang berlantai licin dengan garis-garis aturannya—melainkan lantai semen kasar, sudah rusak, dan hanya dibatasi tembok pot taman kelas. Untuk melakukan lemparan tiga angka mari mengandalkan imajinasi. “Ini lapangan baru. Olahraga baru,” kata Pepeng.

Saya dan Pepeng berdiri di koridor sekolah, di depan ruang kantor.  Kami mengamati beberapa bagian. “Itu juga perpustakaan baru. Waktu saya belum ada,” kata Pepeng menunjuk gedung di hadapan kami.

Mata Pepeng jelalatan. Dia beberapa kali mengurai ingatan untuk mengembalikan kisahnya. Dan matanya berhenti di bangunan toilet yang berderet tiga buah. Itu juga bangunan baru. Pepeng berkata, saat sekolah dulu, bila hendak buang air kecil, siswa akan berdiri di sela pohon pisang. Saya mencari pohon pisang itu, ternyata sudah berada di luar pagar sekolah. “Kebunnya orang, hahaha!” kata Pepeng.

Pepeng merasa senang, sekian tahun meninggalkan bangku sekolah dasar akhirnya ada perkembangan. Tapi di sisi lain, kenangannya ikut lenyap. Meski serba kekurangan, Pepeng tampak bahagia dengan keadaan itu.

Kami lalu berkunjung ke ruangan kelas 5. Kelas yang begitu dinikmati Pepeng. Dia meletakkan tas kameranya di bangku paling depan, deret kedua sebelah kiri. “Ini bangkuku dulu. Deh, tapi berubah mi bangkunya bukan mi ini. Sudah diganti,” katanya.

Di ruangan itu, Pepeng berdiri memutar arah pandangnya. Ada beberapa hal yang berubah. Tambahan gambar-gambar pahlawan, papan informasi untuk jumlah siswa dan nama-nama guru dan berikut aturan sekolah. Dan tiba-tiba dia menemukan tulisan Arab untuk doa belajar tepat di atas papan tulis, serta gambar pahlawan Muhammad Hatta. “Ini yang belum berubah. Waktu saya sekolah ini masih ada, sampai sekarang,” ujar Pepeng, sembari tertawa.

Kami bertemu ibu guru Ratna, usianya 51 tahun. Mengajar di sekolah Tabaringan sejak Maret 1982. Dia mengajar untuk kelas 5 dan 6. Dia adalah guru yang ramah. Pepeng mencium tangannya saat bertemu. Kata Pepeng, ibu Ratna sangat pandai mengambil hati anak-anak didiknya.

Ibu Ratna mungkin salah seorang fans dari Pepeng. Beberapa kali dia memujinya, mengatakan sebagai siswa cerdas dan anak didik yang baik hati. “Dia selalu bantu Ibu kalau mau mengetik kerjaan sekolah. Tidak nakal,” kata ibu Ratna.

“Benarkah Pepeng adalah ketua ketua kelas dan selalu ranking satu?” tanya saya.

“Iya benar. Memang Sofyan (panggilan sekolah Pepeng) itu pintar,” kata Ibu Ratna.

Kami menemui ibu Ratna saat sedang mengajar pelajaran Matematika. Di papan tulis, terlihat beberapa soal yang telah dikerjakan siswa. Kelas itu punya empat deret kursi. Setiap kursi diisi tiga orang siswa. Saat ini jumlah siswa dalam satu ruangan mencapai 52 orang. Pada masa Pepeng, satu ruangan kelas terdapat 62 siswa. “Padat, tapi beginilah keadaannya,” kata Ibu Ratna.

Sekolah Dasar Tabaringan berdiri tahun 1979 melalui Instruksi Presiden (Inpres) dan tentunya telah menamatkan ribuan siswa. Menurut cerita masyarakat setempat, ketika sekolah itu di bangun, di sekitaran sekolah masih terdapat lahan-lahan yang kosong. Beberapa masih terdapat kebun-kebun warga. Namun itu dulu. Kini di sekelilingnya Pasar Cidu, rumah-rumah warga sudah berdiri rapat-rapat, atap-atap rumah seperti bersambungan. Akses jalan kecil hanya untuk kendaraan roda dua.

Saat ini jumlah siswa Sekolah Dasar Tabaringan, untuk tahun 2012 sebanyak 267 siswa dari kelas 1 hingga 6. Sementara ruangan kelas belajar hanya terdapat tiga buah. Dan jam belajar dibagi dua: kelas pagi dan siang.

Namun tak hanya Tabaringan. Sekolah ini punya tetangga dan berada dalam satu kompleks. Satu lapangan dan satu gerbang. Namanya, Sekolah Dasar Tabaringan I. Sekolah Tabaringan I memiliki jumlah anak didik hingga 300 orang. Siswa-siswa antara dua sekolah itu bermain bersama, berlarian hingga bercanda.

Namun kebiasaan lama yang belum berubah, kata Pepeng, bila siswa-siswa memasuki jam istirahat beberapa di antaranya akan jajan di Pasar Cidu. Ada juga beberapa siswa yang menyempatkan waktu membantu orangtua bahkan keluarga berjualan di pasar. Tak heran, Pepeng menjuluki bekas sekolahnya itu sebagai sekolah dengan kantin terbesar di dunia. “Kantinnya seluas Pasar Cidu toh,” seru Pepeng.

Sekira pukul 11.30, kami meninggalkan sekolah Tabaringan. Sekolah yang pernah memantapkan harapan Pepeng menjadi seorang pilot. Hampir dua jam lamanya Pepeng membidikkan kameranya. Dia memotret sekolah itu dari sudut pandangnya. Dia mengabadikan kenangannya. Dia memotret tembok tinggi beton yang memisahkan sekolahnya dengan riuhan aktivitas pasar. “Sebelum ada tembok ini, orang-orang yang teriak menjual ikan, menawar dagangan, sampai didengar dalam kelas,” katanya. “Itu guru kalau pagi, suaranya bertanding sama penjual, hahahahaha!” lanjutnya.

Tahun ini Pepeng akan menyelesaikan kuliahnya di Universitas Fajar Makassar. Pepeng pun sudah menjelma menjadi seorang fotografer profesional dan belajar membuat film pendek. Namun kerjaan itu selalu dirahasiakannya. “Jadi kerja apa sekarang Sofyan?” kata ibu Ratna. “Tidak ada. Menganggur ibu, hehehe…” jawab Pepeng.

Pasar Cidu berada di Jalan Yos Sudarso Makassar. Wilayah pasar ini merupakan kawasan pesisir yang ramai. Ada ruko-ruko tua yang masih berdiri kokoh. Ada warung-warung kopi. Jalan utamanya bila menjelang sore begitu padat, kendaraan seperti bertemu di tempat itu, suara klakson bersahutan. Ada juga penjajal mainan, penjual barang bekas, berjejal dengan jemaah yang menuju masjid.

Lalu, bagaimana cara mencapai Pasar Cidu? Saya kira akan dengan mudah menemukannya melalui Jalan Bandang di samping Masjid Raya, lalu berbelok kanan di ujung persimpangan menuju Jalan Tinumbu, kemudian menapak Jalan Yos Sudarso. []