Merancang Hunian di Makassar

Makassarnolkm.id

Walikota Makassar, Moh. Ramdhan Pomanto, pernah menyebut bahwa pertumbuhan populasi penduduk Kota Makassar tahun 2013 hingga 2014 adalah 1,3 juta jiwa menjadi 1,7 juta jiwa (antarasulsel.com, 12/09/14). Jika mengukur kebutuhan hunian dari data itu, selisih pertumbuhan penduduk dibagi dengan rata-rata 4 jiwa/KK, akan menghasilkan 100 ribu unit rumah per tahun. Seberapa luas sebenarnya lahan yang dibutuhkan untuk menampung pertumbuhan penduduk Makassar?

Jika menggunakan rumah Perumnas tipe minimal 27 meter persegi sebagai patokan kebutuhan lahan 1 unit hunian, maka untuk membangun 100 ribu rumah dibutuhkan luas kurang lebih 24 kali Lapangan Karebosi.

Kebutuhan akan tempat tinggal ini juga menjadi tantangan bagi arsitek atau praktisi rancang bangun. Pertengahan tahun lalu, seorang teman mempertemukan saya dengan seorang klien. Setelah perkenalan singkat, kami langsung membahas rencananya untuk membangun hunian. “Ini model yang saya suka,” katanya, sambil menunjukkan model hunian dari majalah yang dipegangnya.

“Ini lokasinya di mana? Luas lahannya berapa?“ tanya saya.

“Lokasinya di Jalan Perintis Kemerdekaan, setelah Jalan Baddoka, luasnya sekitar 10 kali 20 meter.”

Lelaki itu lalu mengambil kertas dan mulai menggambar luas lahan dan rencana kebutuhan ruang dengan ukuran yang dikira-kira. “Isinya seperti ini dan modelnya begini,” tutupnya, sambil menyodorkan hasil sketsa dan halaman sebuah majalah model rumah.

Saya menandai pembicaraan dengan sang klien yang langsung menunjukkan model bangunan dari majalah yang ia beli. Kejadian ini juga menjelaskan bahwa buku atau majalah tentang tren model bangunan yang mengisi hampir seluruh ruang rak kategori arsitektur di toko buku merupakan referensi yang dominan dan sangat berpengaruh bagi persepsi orang awam dalam rancang hunian.

Umumnya di Makassar, bangunan komersial dengan arsitektur atraktif beralih dari gaya Mediterania (berciri khas lengkung, berpilar, dominan warna berkesan hangat seperti warna pastel, terakota, serta kuning dan oranye) ke gaya minimalis (tanpa ragam profil ukiran yang rumit, tapi lebih dinamis, geometrik, bentuk ekspresi kotak pada fasad yang dominan, dalam pemilihan warna cenderung warna-warna gradasi putih ke hitam).

Inilah kecenderungan yang terjadi di Makassar dalam sepuluh tahun terakhir yang dilakukan 265 pengembang perumahan di Sulsel dan dominan berada di Makassar (properti.kompas.com 10/05/14). Tentu ini memberi andil terhadap gaya arsitektur hunian. Saya sering dapati ini dalam kalimat para klien, antara lain “saya ingin modelnya seperti restoran pizza di depan Ramayana Pettarani itu,” atau “model hotel ini” dan “perumahan itu”.

Cerita tentang percakapan tadi hanya satu dari sekian percakapan yang terjadi dalam hampir setiap wawancara dan proses penggalian gagasan yang dilakukan bersama klien. Dari segi peluang, kebutuhan akan jasa arsitek makin populer. Namun persepsi awam akan arsitektur masih pada keindahan visual sebuah bangunan semata.

Bagi saya, klien cenderung menempatkan arsitek dalam posisi abu-abu, yaitu antara arsitek dan drafter/juru gambar. Soalnya, menurut saya dari proses itu kebutuhan klien akan jasa arsitek lebih hanya menjadi penerjemah dari model arsitektur ke dalam gambar kerja saja. Mereka hanya butuh bantuan menggambarkan rancangan yang sudah ada di benak mereka.

Dengan demikian, pertimbangan akan kondisi lahan, kebutuhan ruang yang sesuai dengan aktivitas penghuni, struktur, biaya konstruksi dan material yang akan digunakan sampai fungsi dari bentuk bangunan itu sendiri tergeser dengan model arsitektur sesuai selera klien— dengan merujuk referensi dari toko buku tadi.

Secara umum proses perancangan hunian dimulai dari: [1] wawancara penggalian gagasan; [2] survei lokasi; [3] Gambar Pra Rencana berupa gambar skematik/layout ruangan dan tampak sesuai dengan tema desain atau gaya arsitektur. Di titik ini, bisa terjadi dua hingga tiga kali perubahan, kebanyakan terjadi pada luasan, penambahan atau penempatan ruang dan model. Jika lancar proses ini bisa berlangsung selama 1 minggu. Setelah Desain Pra Rencana diterima, proses selanjutnya pembuatan [4] DED/gambar kerja yang merupakan gambar yang lebih detail dengan data teknis yang lengkap, sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaan konstruksi. Pada proses ini, sedikit saja perubahan terjadi maka proses perbaikan akan panjang sebab banyak hal yang akan diubah, misalnya perubahan pada luasan ruangan akan ikut mengubah rencana struktur yang cukup banyak. Kalau berhitung waktu, saya kira, ini merupakan proses inti karena pengerjaannya yang panjang. Setelah pembuatan gambar kerja selesai. Perhitungan RAB (Rencana Anggaran Biaya) dimulai, RAB memuat spesifikasi teknis berupa volume, informasi material, juga biaya jasa konstruksi. Keseluruhan proses dari Pra Rencana hingga pembuatan RAB, sekali lagi jika lancar akan memakan waktu 1 bulan.

Keterbatasan ukuran dan harga tanah yang tinggi di Kota Makassar berdampak pada desain skematik bangunan. Ruang seperti halaman rumah makin sempit karena kebutuhan ruang keluarga atau ruang tidur utama yang besar. Apalagi kalau seluruh halaman yang sempit itu harus tertutup oleh paving blok karena keperluan parkir, maka daerah resapan air itu tak akan pernah dibahas. Penghuni mungkin nyaman karena memiliki ruang privat yang lebih luas. Hanya saja, bagi saya, hubungan bangunan dengan unsur sosial dan lingkungan jadi hilang.

Vitruvius dalam De Architectura mengatakan bahwa bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan/Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan/Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya.

Bila mengacu itu, maka seorang perencana ditantang menjalin komunikasi yang menjembatani antara pemahaman klien dan unsur arsitektur, tanpa melupakan tanggungjawab moral seorang perencana akan dampak sosial serta lingkungan (seperti menghilangnya daerah serapan air di sekitar rumah) dari karyanya.[]

:: Kurniawan Adrianto, pustakawan di Kampung Buku.