Akau, Dari Dili Ke Kota Daeng

Tahun 1999 kota Dili yang kala itu masih termasuk bagian Republik Indonesia dicekam kerusuhan massal yang berakhir pada memorandum yang memisahkan Timor-Timur (kemudian menjadi Timor Leste) dari Indonesia. Berikut ini ada kisah seorang warga yang sempat bertemu dengan seorang warga asal Dili yang justru secara tidak sengaja tiba di Makassar sebelum kerusuhan itu pecah.

Desember 1996, bocah berumur 12 tahun bertubuh pendek dan berkulit gelap yang bernama Akau berkeliling membawa keranjang jualannya di atas kapal penumpang KM AWU yang saat itu sedang berlabuh di pelabuhan Dili, Timor-Timur. Kala itu Akau hanya lancar berbahasa tetun (bahasa timor-timur), ia menjajakan jualannya pada penumpang -penumpang KM AWU dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Belum sebulan lamanya ia berjualan di pelabuhan kebanggan kota Dili tersebut, himpitan ekonomilah yang memaksanya berjualan demi menghidupi diri dan keluarganya.

Bisingnya suara mesin kapal yang sedang dipanaskan ternyata membuat Akau yang kala itu berada di dek 1 tidak sadar kalau kapal berkapasitas 969 penumpang itu sudah membunyikan sirine ketiganya yang berarti para pengantar, buruh angkut dan para pedagang yang masih berada di atas kapal harus segera turun. Akau baru sadar ketika kapal PELNI buatan tahun 1991 itu mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Dili menuju Ambon. Akau panik dan tak sempat lagi melompat ke darat. Meski hatinya gundah dia akhirnya berusaha menenangkan diri melihat kota Dili, kota kelahirannya perlahan-lahan mulai dia tinggalkan.

Dengan bermodalkan hasil dagangan sejumlah Rp. 85.000, bocah 12 tahun itu menerima jalan hidupnya dalam kapal yang membawanya tanpa sengaja dari kampung halamannya menuju ke dermaga tanpa tujuan. Ia tidak tahu harus berhenti di pelabuhan yang mana. Saat KM Awu berlabuh di pelabuhan Ambon, ia merasa kota ini tidak cocok untuk hidup barunya. Barulah di pelabuhan tujuan kedua yakni Makassar ia merasa harus turun karena takut ketahuan pemeriksa tiket kapal. Hatinya pun merasa ini adalah pelabuhan untuk jalan hidupnya yang baru.

Di Makassar Akau tidak punya kerabat atau sanak famili, dengan berbekal keterampilannya berjualan bocah 12 tahun tersebut mencoba bertahan hidup di pelabuhan Makassar dengan bahasa Indonesia seadanya. Selama 1 tahun setengah ia melanjutkan hidupnya dengan berjualan di sekitaran pelabuhan dan pasar Sentral. Malampun kadang dia lewatkan di kedua tempat itu. Dengan berbekal pergaulan dari teman-teman sebayanya Akau menjadi banyak tahu tentang Makassar dan sudah lancar berbahasa Indonesia, walaupun kehidupan jalanan yang keras masih sering ia dapatkan.

Pertengahan 1997 seorang petugas pelabuhan memperkenalkan Akau pada Pak Kahar, seorang tentara asal Makassar yang saat itu baru saja menyelesaikan tugasnya dari Timor-Timur. Pada pak Kahar Akau bercerita pasal bagaimana ia bisa tiba di Makassar dan bagaimana ia bertahan hidup di kota yang terkenal dengan sirinya yang keras ini. Pak Kahar jatuh iba pada Akau yang saat itu berusia 13 tahun dan membawanya ke Malino, tempat di mana istri dan kelima anaknya tinggal. Bocah 13 tahun itu dijadikan anak angkat oleh Pak Kahar, Akau diislamkan dan diberi nama pengganti Muhammad Ramadhan Daeng Alle’. Nama Muhammad Ramadhan diambil karena saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Selain dijadikan anak angkat, Ramadhanpun bersekolah bersama kelima anak gadis pak Kahar.

Sambil meminum kopi yang telah saya buatkan, Ramadhan kembali bercerita tentang jalan hidupnya.

Akau yang sekarang bernama Ramadhan pernah pulang ke kampung halamannya,tepatnya pada tahun 1999. Kala itu pak Kahar memberinya ijin untuk pulang untuk berjumpa keluarga yang telah lama dia tinggalkan di Dili, Timor-Timur. Bahkan Pak Kahar pula yang memberinya biaya.

Kebahagiaan membuncah di keluarga Akau alias Ramadhan ketika melihat anak mereka yang telah disangka hilang 4 tahun sebelumnya di dermaga Dili, ternyata sehat walafiat. Tapi kebahagiaan itu hanya sesaat, tepat dua minggu Ramadhan Daeng Alle di Dili, kerusuhan besar pecah. Kota Dili yang jadi kota kelahirannya dikecam ketakutan luar biasa, bunyi rentetan tembakan hadir di sekujur kota, korban jiwa berjatuhan. Seminggu setelah kerusuhan itu pecah, Ramadhan kembali ke Makassar meninggalkan orang tuanya yang tak sempat lagi ditemuinya ketika suasana Dili mencekam. Orang tuanya mengungsi entah ke mana, ia baru mengetahui kabar mereka 6 bulan setelah meninggalkan kota Dili dari seorang kawan tentara Pak Kahar.

17 Tahun kemudian, Ramadhan dg. Alle yang bernama asli Akau itu masih hidup dan menetap bersama keluarga barunya di Makassar. Pria berkulit gelap dengan tinggi sekisar 163cm itu sudah menganggap Makassar sebagai kampung keduanya selain kampung halamannya di Dili yang sudah menjadi ibu kota dari negara baru bernama Timor Leste itu. Pak Kahar sudah meninggal, tapi meski begitu Ramadhan tetap menganggap keluarga itu sebagai keluarganya sendiri.

“ Itulah sepenggal perjalanan hidup saya yang kebanyakan orang katanya menyedihkan, tapi bagi saya itu sebuah pelajaran hidup yang tidak mungkin saya lupa” kata Ramadhan sambil mengakhiri cerita panjang hidupnya yang tak terduga itu.[]